24 Agustus 2008

Mahasiswa dan Ekonomi Islam

”Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuham mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al Kahf : 13)Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran para pemuda. Melalui para pemuda, bangsa ini mampu melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan bangsa asing. Mulai dari zaman sebelum pergerakan nasional dimulai atau saat perjuangan masih bersifat kedaerahaan sampai saat detik-detik proklamasi, para pemuda memiliki kontribusi yang tidak sedikit untuk kemerdekaan Indonesia. Mulai dari mereka yang memiliki kemampuan intelektualitas dan berjuang di jalur diplomasi, sampai mereka yang hanya bermodalkan semangat “merdeka atau mati” dan terjun langsung ke medan perang, memberikan kontribusi yang sangat besar demi kemerdekaan Indonesia.Ir. Soekarno, Moh. Hatta, M. Natsir, Sutan Syahrir, sampai Soe Hok Gie adalah sedikit dari ratusan bahkan ribuan nama-nama pemuda yang berjuang tanpa kenal lelah serta rela mengorbankan harta dan jiwa mereka dalam membela Indonesia. Sebuah pernyataan yang penuh arti pun sempat dikumandang oleh Ir. Soekarno, “Berikan saya sepuluh pemuda, maka akan saya gemparkan dunia.” Hal ini menunjukkan, bahwa pemuda bukan sembarang orang yang dapat memberikan perubahan bagi sebuah bangsa.
Bukan hanya di Indonesia, hampir di seluruh belahan dunia pun, pemuda memiliki peran yang sangat nyata bagi perjuangan dan perubahan sebuah bangsa. Di jazirah Arab, pada masa Rasullah SAW, ada Ali Bin Abi Thalib yang telah aktif menjadi pejuang pada usia 8 tahun dan Arqam Bin Abi Arqam menjadi aktifis pergerakan sejak berusia 16 tahun. Pada era modern, di Mesir kita kenal seorang Hasan Al Bana yang berjuang menegakkan syariah Islam dengan benar di negaranya. 
Saat ini, perjuangan para pemuda identik dengan pergerakan mahasiswa. Di mata masyarakat, mahasiswa dianggap status yang sangat prestisius bagi seseorang karena mahasiswa dianggap sebagai seseorang yang memiliki kemampuan intelektual yang baik, semangat yang tidak pernah padam, selalu memiliki ide-ide cemerlang, dinamis, kreatif dan idealisme yang tidak pernah luntur. Melalui ini semua, mahasiswa diyakini mampu mengubah keadaan sebuah bangsa atau masyarakat menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Dalam Peraturan Pemerintah No.30 tahun 1990 dijelaskan bahwa mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu. Mereka adalah orang-orang yang secara resmi menimba ilmu di Universitas, Institut, maupun Sekolah Tinggi. 
Beberapa gelar hebat pun disematkan kepada mahasiswa. Agent of change, social control, dan iron stock adalah beberapa gelar tersebut untuk para mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa menjadi sesosok yang sangat diharapkan karena memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengusung perubahan demi kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
----------------------------------------------------------------------------------------
Pada abd ke-18, lahir sebuah paham dari seorang Adam Smith (1723-1790) di Inggris dan dinamakan liberalisme. Ajaran laiser aller, laisser passer (merdeka berbuat dan merdeka bertindak) menjadi pedoman bagi paham ini. Dari paham ini ternyata lahirlah kaum borjuis dan pada akhirnya memunculkan sistem ekonomi kapitalis.
Sistem ekonomi kapitalis adalah sistem ekonomi yang menuntut penggunanya meraih keuntungan semaksimal mungkin dengan membenarkan semua cara asalkan keuntungan yang didapat bisa sangat memuaskan penggunanya. Sistem inilah yang sekarang menguasai hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Sistem ekonomi kapitalis memberikan dampak berupa kemiskinan. Selain itu, sistem ekonomi kapitalis juga telah mencetak orang-orang yang bermental negatif. Mental negatif yang dimaksu adalah sikap kapitalisme pada diri pelaku ekonomi kapitalis seperti hanya memiliki orientasi pada keuntungan dan kenikmatan dunia semata tanpa memperhatikan keadaan orang lain serta aturan-aturan antara manusia dan penciptanya. Jelas, keadaan ini hanya menguntungkan manusia jika dilihat dari sisi duniawi, tapi jika dilihat dari hubungan vertikal manusia dan penciptanya, hal ini membuat manusia melupakan persiapan untuk menghadapi kehidupan yang kekal setelah hari akhir nanti yaitu kehidupan di alam akhirat.
Bukti nyata kegagalan sistem ekonomi kapitalis adalah kemiskinan yang sampai hari ini belum bisa dihilangkan dengan tuntas, baik di Indonesia maupun di seluruh negara berkembang. Kalaupun ada kemiskinan yang terlihat berkurang, itu hanya bersifat semu, dalam artian kemiskinan yang berkurang tersebut hanya menyentuh sebagian orang saja dan tidak bersifat menyeluruh.
Islam sebagai agama yang sempurna, seperti yang tercantum dalam Al Quran, “pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untuk kamu”(QS. Al Maidah [5] : 3), memberikan sebuah solusi dari permasalahan yang disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalis melalui sistem ekonomi Islam atau yang kita kenal saat ini sebagai Ekonomi Syariah.
Secara singkat, dapat dijelaskan Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah adalah sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada ajaran Islam dimana sistem ekonomi ini tidak hanya berorientasi kepda keuntungan dunia tapi juga berorientasi keselamatan dunia dan akhirat para penggunanya. Sistem ekonomi Islam sebenarnya telah ada sekitar 14 abad yang lalu pada masa Rasullah SAW.
Sistem ekonomi Islam mengajak para pelakunya untuk lebih peduli kepada sesama manusia sebagai salah satu sarana dalam mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Contoh dari perbuatan tersebut antara lain adalah, setiap pelaku ekonomi Islam yang memiliki rezeki lebih baik dari saudaranya harus menolong saudaranya yang kesejahteraannya tidak begitu baik jika dibandingkan dengan dirinya. Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam tidak membenarkan praktik-praktik ribawi seperti pada sistem ekonomi kapitalis karena riba dapat mendzalimi sesama manusia.
Ekonomi Islam diyakini dapat memberikan efek positif terhadap kesejahteraan umat. Dengan pengelolaan ZIFWAF (Zakat, Infaq, Wakaf, dan Sedekah) yang baik, Insya Allah kesejahteraan umat dapat ditingkataktan sekaligus mengurangi angka kemiskinan. Seperti yang terjadi pada zaman Umar Bin Khattab, Gubernur Yaman Muadz Bin Jabal harus mengirim zakat ke Madinah karena pada waktu itu tidak ada lagi orang miskin di Yaman. (Ahmed, 2004). Dan juga, semua praktik ekonomi yang menggunakan sistem ribawi harus segera ditinggalkan.
--------------------------------------------------------------------------------------
Ekonomi Islam telah berkembang hampir di seluruh dunia. Tapi di Indonesia ekonomi Islam masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia. Hal ini dikarenakan sosialisasi sistem ekonomi Islam yang masih kurang dilakukakan meskipun sekarang Indonesia telah memiliki UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan UU Perbankan Syariah.
Mahasiswa sebagai agent of change dituntut untuk dapat memberikan perubahan yang positif bagi lingkungannya. Dalam hal ini, mahasiswa harus mampu menunujukkan peranya dalam meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurangi angka kemiskinan. Pemikiran lama yaitu tugas memasyarakatkan ekonomi Islam hanya tugas para ahli ekonomi dan praktisi ekonomi Islam harus ditinggalkan. Mahasiswa juga berkewajiban dalam memasyarakatkan ekonomi Islam.
Lalu, kenapa mahasiswa juga harus berperan? Karena mahasiswa adalah sebuah kelompok yang hari ini dapat mengatur kampusnya dan 20 tahun yang akan datang diyakini mahasiswa mampu mengatur dunia. Dari pernyataan tersebut, mahasiswa dianggap sebagai sebuah kelompok dengan kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi kehidupan dunia.
Berbagai peran dapat diambil oleh mahasiswa dalam memasyarakatkan ekonomi Islam. Peran yang paling sederhana adalah sosialisasi dari mulut ke mulut (door to door) terhadap lingkungan sekitarnya seperti keluarga dan teman-temannya sampai ke peran yang besar sekalipun seperti terjun langsung ke sebuah lingkungan dan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan tersebut. 
Mahasiswa yang mengambil peran tersebut hendaknya bukan mahasiswa Fakultas Ekonomi atau mahasiswa yang mengambil studi ekonomi Islam saja, tapi juga dilakukan oleh mahasiswa secara keseluruhan tanpa memandang studi yang diambilnya. Karena untuk mewujudkan sebuah perubahan, diperlukan dukungan dari semua element pengusung perubahan itu sendiri (mahasiswa). Tetapi, untuk langkah awal pergerakan ini, tampaknya masih fokus dilakukan oleh mahasiswa yang memang memiliki latar belakang ilmu ekonomi, terutama ekonomi Islam.
Kesejahteraan masyarakat yang baik dan berkurangnya angka kemiskinan bukanlah sesuatu yang mustahil diwujudkan bila ada kerja sama yang baik antara pakar dan praktisi ekonomi Islam dengan mahasiswa dalam melakukan sosialisasi ekonomi Islam kepada masyarakat luas.
Mahasiswa adalah pemuda yang didalam dirinya mengalir darah-darah pejuang. Di dalam diri mahasiswa itu sendiri terdapat kekuatan yang besar untuk mengubah sebuah lingkungan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Buktinya adalah sekelompok mahasiswa atau pemuda juga memiliki peran dalam kemerdekaan bangsa Indonesia dan mahasiswa juga yang menggulingkan rezim pemerintahan yang dianggap otoriter melalui peristiwa 1998.
Sekarang sudah saatnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Sistem ekonomi yang mengarah ke arah sana sudah ada, tinggal bagaimana kita dapat memanfaatkannya dengan baik. Wallahu’alam bishawab.

Bahan Bacaan :
Al Quran 
Risalah Pergerakan Mahasiswa oleh Indra Kusumah
Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah oleh Tim Penulisa MSI UII


20 Juni 2008

Spiritualitas Ekonomi

Ekonomi yang semula diciptakan manusia untuk menyejahterakan kehidupan, kini berbalik menjadi senjata makan tuan. Belakangan manusia terjebak sebagai hamba sahaya yang menyerahkan diri dan berperilaku seperti binatang ekonomi (economy animals), sehingga diperlukan penyelarasan yang mengembalikan manusia kepada fitrahnya dengan mengedepankan spritualitas sebagai nilai alamiah makhluk yang berketuhanan.
Namun kemudian kegiatan ekonomi berkembang menjadi pemenuhan kebutuhan rumah tangga, antar rumah tangga, kelompok, lintas negara, hingga lintas benua dan telah membuat manusia terdorong untuk berproduksi dan memperluas pasar, sehingga menimbulkan rasa kepemilikan yang berlebihan dan mengabaikan ketauhidan bahwa kepemilikan yang hakiki ada di tangan Allah SWT semata.

Model bisnis Rasulullah, Muhammad SAW yang berbasis akhlak, kejujuran dan kredibilitas telah diingkari. Banyak manusia yang melanggar etika bisnis dengan melakukan kecurangan dalam takaran, menimbun barang, kebohongan publik, pengrusakan alam, menyengsarakan buruh, terlibat riba, bersikap hedonistis, serta gerakan imperialisasi yang berkedok globalisasi. Praktik ini dicela dan dilarang Islam melalui ancaman sebagaiman terdapat dalam surat Al Muthaffifin 1-6) atau dilarang melakukan kerusakan di muka bumi.
Maraknya kecurangan bisnis, mengakibatkan terjadi transformasi nilai untuk kembali kepada fitrah manusia. Ada pergeseran dari nilai intelektual ke emosional dan kemudian ke spiritual. Ini digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshal yang kemudian dibuktikan sendiri oleh Soichiro Honda (pendiri Honda Motor, yang hidup sederhana), Konosuke Matsushita (pengusaha yang memiliki moto 'life is not only for bread), dan perusahaan Kyoto Cheramics (yang 'memandang rendah kemewahan').

Islam telah mengajarkan kepemilikan mutlak ada di tangan Allah. Guru Marketing, Hermawan Kertajaya, juga mengedepankan tren bisnis dengan hati yang berlandaskan kejujuran. Menurutnya kejujuran merupakan resources yang langka bagi perusahaan dan sekaligus bisa menjadi sumber keunggulan bersaing yang sangat kokoh.

Islam mengakui fungsi produksi sebagai gerbang kehidupan ekonomi. Allah menganugerahkan sumber daya alam agar manusia bisa mendayagunakannya. Kerja merupakan unsur utama produksi untuk memenuhi hak hidup, hak keluarga, dan masyarakat guna mendorong fungsi produksi dalam mengoptimalkan sumberdaya insani yang mengacu full employment.
Islam menghargai kerja sebelum menghargai produknya, sehingga aktivitas produksi yang padat karya lebih disenangi daripada padat modal, karena model ini lebih memberdayakan produsen. Motif produksi masyarakat prakapitalis adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumtif belaka dan mengalami pergeseran dari keperluan konsumtif plus untuk dijual ke pasar. Sedang konsep produksi Islam memiliki nilai tambah dengan adanya fungsi sosial, karena produksi yang Islami lebih mempertimbangkan kebutuhan (needs) orang banyak daripada kesenangan (wants) orang yang berdaya beli kuat.

Perkembangan kapitalisme telah membuat fungsi uang terpisah dengan sektor riil dan bahkan menjadi komoditas komersial. Padahal fungsi idealnya hanya sebatas alat pengukuran, media pertukaran, dan penyimpan nilai. Lihat yang terjadi ketika uang menjadi komoditas disaat krisis, rupiah tertekan, debitur offshore (pinjaman dalam valuta asing) kelimpungan, mencari dollar Amerika susah, dan perbankan mengalami negative spread (akibat pendapatan bunga kredit lebih kecil daripada biaya dana).

Kini orang mulai melirik dan tertarik pada bisnis yang berbasis bagi hasil (profit sharing). Selain itu, dipacu juga perkembangan wakaf tunai dan pengumpulan zakat guna mengangkat perekonomian masyarakat kelas bawah secara produktif. Spritualitas dalam ekonomi sangat dibutuhkan untuk mewarnai aktivitas ekonomi agar tidak mengarah kepada homo homini lupus, manusia menjadi serigala sesamanya, sehingga mengaburkan makna ekonomi yang hakikat dan tujuan akhirnya untuk kesejahteraan. Bukan sebaliknya seperti yang tengah terjadi, sebuah pergulatan ideal dengan realitas. Semoga !

Diambil dari :ekonomisyariah.org
Sumber : Republika Online
Penulis: Delyuzar Syamsi (Pemimpin Cabang BNI Syariah Prim

28 Mei 2008

Pandangan Terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia Ditinjau dari Konsep Dasar Ekonomi Islam

Oleh : Adietya Muhlizar

Ilmu ekonomi adalah sebuah cabang ilmu dari pengetahuan sosial yang tidak bisa lepas dalam kehidupan sehari-hari karena melalui ilmu ekonomi inilah setiap manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai satu kesatuan atau dikenal dengan organisasi. Dalam hal ini, organisasi yang merupakan kesatuan dari setiap individu disebut dengan negara.

Berbicara soal negara, tentu tidak bisa dilepaskan dari cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya yaitu ilmu politik. Melalui ilmu politik ini individu-individu yang terlibat dalam organisasi yang disebut sebagai negara dapat memainkan perannya untuk mengatur sebuah negara agar dapat mencapai tujuannya yang telah dicita-citakan melalui semua kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi.

Kebijakan ekonomi suatu negara tidak bisa lepas dari keterlibatan pemerintah karena pemerintah memegang kendali atas segala sesuatu, menyangkut semua kebijakan yang bermuara kepada keberlangsungan negara itu sendiri. Setiap pemerintahan yang sedang memimpin suatu negara tentu saja memiliki kebijakan ekonomi andalan untuk menjamin perekonomian negara yang baik dan stabil demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan, karena sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi agar tercapainya kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi rakyatnya.

Kebijakan ekonomi suatu negara juga tidak bisa dilepaskan dari paham atau sistem ekonomi yang dipegang oleh pemerintahan suatu negara, seperti sistem ekonomi Kapitalisme, Sosialisme, Campuran, maupun sistem ekonomi Islam. Tentu saja pemerintah, sebagai pengendali perekonomian suatu negara, menganut salah satu sistem ekonomi sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Apapun sistem ekonomi yang dipegang oleh suatu pemerintahan, sistem ekonomi itulah yang diyakini sebagai sistem ekonomi terbaik bagi perekonomian negara yang dipimpin oleh suatu pemerintahan tersebut walaupun nantinya dalam sistem ekonomi yang dipegang memiliki berbagai kelemahan.

Dari berbagai sistem ekonomi yang ada, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sistem ekonomi Islam dianggap sebagai smart solution dari berbagai sistem ekonomi yang ada karena secara etimologi maupun secara empiris, terbukti sistem ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi yang mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang nyata dalam penerapannya pada saat zaman Rasullah Muhammad SAW dan pada masa Khalifa Islamiyah karena sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasarkan pada nilai keadilan dan kejujuran yang merupakan refleksi dari hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT.


Permasalahan Sistem Ekonomi Indonesia

Sistem ekonomi Indonesia berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945-sebagai landasan idil-berorientasi pada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etika dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (tidak mengenal pada pemerasan dan eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya persamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama-bukan kemakmuran bagi seseorang).[1]

Secara garis besar, sistem ekonomi Indonesia berlandasakan pada Pancasila dan UUD 1945 mengandung nilai yang sama dengan nilai-nilai yang terdapat pada sistem ekonomi Islam yang landaskan pada Al Quran dan Hadits Rasullah Muhammad SAW. Persamaan nilai tersebut adalah usaha untuk mencapai nilai keadilan dalam bidang ekonomi untuk setiap individu baik dengan menggunakan sistem ekonomi Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 maupun dengan menggunakan sistem ekonomi Islam.

Tetapi pada kenyataannya, sistem ekonomi Indonesia memiliki banyak wajah. Keberagaman wajah inilah yang membuat sistem ekonomi Indonesia dalam praktiknya seperti tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasannya. Hal ini dapat dibuktikan, meskipun sistem ekonomi Indonesia memiliki nilai keadilan, tetapi masih saja terjadi ketidakadilan ekonomi di tengah masyarakat, seperti semakin tingginya kesenjangan sosial karena kemiskinan yang belum dapat ditangani dengan baik dan juga masih adanya kebijakan ekonomi yang kurang berpihak kepada rakyat.

Hal ini yang menjadi permasalahan dalam ekonomi Indonesia karena pada dasarnya sistem ekonomi Indonesia ingin memberikan keadilan dalam bidang ekonomi kepada setiap rakyat Indonesia, tetapi kenyataannya tidak demikian, masih jauh panggang dari api. Dan Islam, melalui sistem ekonomi berusaha memberikan smart solution atas permasalahan yang terjadi.



[1] Sri Edi Swasono, “Sistem Ekonomi Indonesia”, makalah disampaikan dalam seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat Sistem Ekonomi Indonesia, Jakarta, 19 Februari 2002, hal. 1.


Sebuah Saran untuk Sistem Ekonomi Indonesia

Sistem ekonomi Indonesia berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 memiliki nilai keadilan. Maksud dari nilai keadilan ini adalah sistem ekonomi Indonesia menjamin keadilan dan pemerataan ekonomi bagi setiap rakyatnya sehingga kesenjangan sosial tidal lagi terlihat dengan jelas serta dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan negara.

Sistem ekonomi Indonesia secara otomatis menjadi pedoman lahirnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya, setiap kebijkan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah dirasakan tidak adil bagi sebagian lapisan masyarkat di Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah tingkat kesejahteraan masyarakat yang kurang baik, membuat kehidupan masyarakat lapisan menengah, terutama menengah ke bawah menjadi sedikit lebih sulit dari sebelumnya. Di sisi lain, ada satu lapisan masyarakat, hidupnya jauh dari kesulitan ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah belum bisa memenuhi nilai keadilan dalam sistem ekonomi Indonesia.

Sistem ekonomi Indonesia berorientasi kepada sistem ekonomi campuran, sebuah sistem ekonomi yang biasa digunakan oleh negara berkembang. Kebijakan ekonomi Indonesia berdasarkan sistem ekonomi campuran masih mengarah kepada sistem atau kebijakan ekonomi kapitalis yang terbukti hanya memberikan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara. Sudah dapat ditebak, situasi perekonomian Indonesia menjadi kurang kondusif karena kebijakan-kebijakan ekonomi yang dinilai kurang tepat dengan situasi perekonomian Indonesia saat ini.

Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan Islam tercantum di dalam Al Quran yang semestinya menjadi pedoman kehidupan manusia karena bersumber langsung dari Allah SWT sebagai pemilik kehidupan. Al Quran menjelaskan kesempurnaan Islam[1] yaitu, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridai Islam itu jadi agama bagimu”. Islam mengatur semua bidang kehidupan manusia, termasuk bidang ekonomi karena Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat untuk semesta alam) perlu mengatur kehidupan manusia agar tercapainya keselamatan dunia dan akhirat.

Islam memberikan solusi atas permasalahan ekonomi yang dialami oleh setiap negara melalui Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang bersumber pada Al Quran dan hadits Rasullah SAW dan mengedepankan nilai-nilai kejujuran serta keadilan dalam berekonomi. Ekonomi Islam bukan sistem ekonomi karena fenomena trend, yang muncul secara reaktif dan karena emosi keagamaan semata tetapi merupakan sebuah sistem ekonomi yang sudah muncul dan berkembang serta menempuh perjalanan panjang sejak 14 abad yang lalu ketika zaman Rasullah Muhammad SAW.[2]

Sistem ekonomi Indonesia harus mengubah orientasinya ke sistem ekonomi Islam karena sistem ekonomi Islam secara empiris telah terbukti dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara, seperti pada zaman Umar Bin Khattab, Gubernur Yaman Muadz Bin Jabal harus mengirim zakat ke Madinah karena pada waktu itu tidak ada lagi orang miskin di Yaman. (Ahmed, 2004)

Terlebih, terdapat persamaan dalam sistem ekonomi Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 dengan sistem ekonomi Islam, yaitu terdapatnya nilai keadilan. Bukan itu saja, UUD 1945 pasal 33[3] seperti bersumber kepada hadits Rasullah SAW, “Semua orang Islam berserikat dalam tiga hal: dalam hal air, rumput, api. (HR. Ahmad dan Abu Daud)[4]

Indonesia perlu menerapkan sistem ekonomi Islam sebagai dasar kebijakan ekonomi karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem ekonomi Islam dengan prinsip keadilan dan kejujuran yang jelas, jauh dari kecurangan, lebih menjamin terlaksananya kemakmuran serta kesejahteraan setiap pelakunya (negara). Selain itu, sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang dirihdai Allah SWT sebagai pemilik alam semesta sehingga lebih menjamin setiap pelaku ekonomi Islam mendapatkan keselamatan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu’alam bishawab


[1] Lihat Al Quran, Surrat Al Maidah ayat 3.

[2] Tim Penulis MSI UII, 2008, Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah, Yogyakarta: Safiria Insania Press.

[3] Lihat UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, 2, 3, dan 4.

[4] Sidqi Muhammad Jamil,1994, Sunan Abi Dawud lil Hafiz Abi Dawud Sulaiman Ibn a- Ash’ath al-Sajastanî, Beirut: Dâr al-Fikr, hal. 258


Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia, salah satu mata kuliah yang diambil penulis di semester IV FE Universitas Sriwijaya. Bahan referensi tulisan ini makalah Kebijakan Ekonomi Indonesia Ditinjau dari Konsep Dasar Ekonomi Islam, diambil dari www.google.co.id, akses Rabu, 21 Mei 2008 pukul 15.09 WIB

25 Mei 2008

Naiknya Harga Bahan Bakar Minyak (BBM)

Masyarakat di seluruh penjuru negeri, pada bulan ini mendapatkan sebuah kejutan dari pemerintah berupa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan mulai berlaku Sabtu, 24 Mei 2008 pukul 00.00 WIB. Sebelum kebijakan harga ini ditetapkan, beberapa minggu sebelumnya sudah terdengar akan adanya kenaikan harga BBM yang memicu demonstrasi di berbagai daerah dan berakhir dengan kericuhan.
Kebijakan yang dipandang sebagai kebijakan yang tidak populer ini terpaksa diambil pemerintah karena situasi yang mulai tidak bersahabat. Beberapa pertimbangan pemerintah antara lain adalah harga minyak dunia yang saat ini mencapai harga di atas 100 US Dolar per barel (berkisar di harga 120-150 US Dolar per barel) dan berpengaruh terhadap subsidi pemerintah di Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN). Nilai subsidi sebesar Rp. 95 triliun membengkak menjadi Rp. 125 triliun. Pertimbangan lainnya, seperti yang pernah diungkapkan Wakil Presiden, Jusuf Kalla adalah subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang kaya sehingga pemerintah merasa sia-sia untuk terus mengeluarkan subsidi yang tinggi untuk bahan bakar minyak (BBM). Perlu diingat, ini adalah kenaikan harga BBM yang ketiga pada era pemerintahan SBY-JK.
Sudah pasti dampak dari kenaikan harga BBM adalah kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan tarif transportasi. Dan yang terasa paling memberatkan adalah kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Di tengah situasi perekonomian yang belum kondusif dan tingkat kesejahteraan penduduk yang masih belum membaik tentu saja hal ini adalah pukulan mutlak bagi penduduk terlebih mereka yang tergolong penduduk menengah ke bawah.
Pemerintah memberi sebuah solusi untuk penduduk golongan menengah ke bawah dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Tapi, program ini masih menyisakan pro dan kontra. Bagi mereka yang setuju, program ini dianggap sebagai ”obat yang mujarab” untuk meringankan beban penduduk yang kurang mampu. Bagi mereka yang kurang setuju, program BLT ini dianggap terlalu memanjakan penduduk sehingga nantinnya penduduk menjadi malas untuk berusaha. Apalagi berdasarkan pengalaman 2005, program BLT dinilai kurang efektif dan tidak tepat sasaran serta menimbulkan masalah karena banyaknya data yang tidak valid sehingga banyak orang-orang yang tidak berhak menerima BLT mendapatkan kompensasi kenaikan harga BBM tersebut.
Pemerintah juga memberikan janji untuk meringankan beban penduduk menghadapi kenaikan harga BBM ini, antara lain janji pemerintah tersebut adalah perpanjangan jatah raskin yang diberikan 15 kg per rumah tangga sasaran per bulan, dari 10 bulan menjadi 12 bulan. Artinya, November-Desember 2008, raskin tetap diterima oleh warga yang berhak. Kedua, akan diberikan bagi PNS golongan I dan II, tamtama- TNI dan Polri, bantuan pendidikan sebesar Rp. 150 ribu dibayarkan Juli satu kali karena Juni masuk tahun ajaran baru. Dan ketiga, diberikan pasar murah dari BUMN dan swasta untuk lima juta kepala keluarga khususnya buruh dan masyarakat pedesaan dan perkotaan berpendapatan tetap dengan paket belanja jumlahnya Rp. 50 ribu per paket. (Sumber : Menko Kesra). Dal satu lagi, janji pemerintah yang nantinya harus benar-benar diamati adalah, kenaikan harga BBM ini tidak akan menambah jumlah orang miskin.
Solusi di balik Kenaikan Harga BBM
Diakui atau tidak, sebenarnya menaikkan harga BBM bagaikan memakan buah simalakama bagi pemerintah. Di satu sisi, tidak menaikan harga BBM berarti menguras keuangan negara dengan subsidi yang terus membengkak dan di sisi lain, menaikkan harga BBM hanya menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Pada akhirnya, pemerintah harus mengambil kebijakan menaikkan harga BBM meskipun kebijakan ini dianggap sebagai mimpi buruk oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Sebenarnya, ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM meskipun berada di tengah keadaan yang tidak menguntungkan. Pemerintah perlu menjamin perekonomian yang kondusif karena pemerintah (negara) memiliki peran untuk mengusahakan individu-individu memenuhi kebutuhannya dengan cara menciptakan perekonomian yang kondusif (Kahf, 1998). Beberapa langkah tersebut adalah :
1. penghematan belanja negara hingga 20 persen, mulai dari kantor kepresidenan, DPR, kementrian, dan lembaga negara lain. Minimal Rp. 20 Triliun bisa dihemat di sini. Sekarang, tidak tampak nuansa krisis. Lihatlah suasana dan fasilitas kantor pemerintah dan perilaku pejabat-pejabatnya. Tidak tampak sedikitpun nada prihatin. Bahkan gaya hidup mereka pun tidak mencerminkan pemimpin dari suatu daerah yang sedang menderita.
2. pembayaran angsuran hutang harus dijadawalkan kembali, bahkan pembayaran bunga (riba) hutang yang ternyata memakan porsi yang cukup besar harus tidak dilakukan. Dalam APBN tahun 2008 ini cicilan pembayaran hutang plus bunganya mencapai Rp. 151, Triliun (Beritasore.com, 25/11/2007). Untuk membayar bunga saja sekitar Rp. 94 Triliun (lebih dari 10 miliar dolar AS). Karena itu, penagguhan ini jelas akan membantu mengurangi beban berat APBN.
3. memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI yang bunganya jelas menambah beban pemerintah. Sepanjang tahun 2007, dana APBD mengendap di BI dalam bentuk SBI mencapai sedikitnya Rp. 146 triliun (Waspada Online, 27/8/07). Lebih dari itu, sepanjang tahun 2007, ternyata APBD kita rata-rata surplus cukup besar (Okezone.com, 6/5/08). Ini jelas bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi beban pemerintah dan masyarakat.
4. pajak progresif terhadap pajak yang boooming seperti minyak, gas, batubara, tembaga, dan perkebunan. Tax rate-nya dinaikkan sejalan dengan kenaikkan harga. Jika taz rate atas minyak ditetapkan ditetapkan 50 persen, penerimaan pajak bisa naik minimal Rp. 9 triliun. Jika 60 persen, naiknya Rp. 15 triliun (Drajat Wibowo, Republika, 7/5).
5. memangkas perantara yang ada dalam ekspor dan impor minyak. Perantara ini cuma calo, berbasis di Singapura dan mengambil margin minimal 0,5-1 dolar AS per barel (Drajat Wibowo, Repulbika, 7/5).
6. lindung nilai (hedging) harga minyak dapat menghemat sedikitnya Rp. 55, 2 triliun. Jika realisasi harga minyak 115 dolar AS perbarel dan hedging beli di harga 95 dolar AS, terdapat selisih 20 dolar AS terhadap konsumsi BBM 35, 5 juta kiloloter, ada potensi penerimaan Rp. 44, 59 triliun (Sunarsip, Repulbika, 7/5).
7. menekan besaran alpha (margin distribusi BBM). Pendistribusian BBM bersubsidi ke Pertamina dari 9 persen menjadi 5 persen. Subsidi yang bisa dihemat dari penurunan alpha Rp. 9, 534 triliun (Agung Pri Rakhmanto, Repulbika, 7/5).

Dari tujuh langkah di atas, akan di dapat dana lebih besar daripada dana kenaikan BBM. Selain itu, pemerintah juga harus bersungguh-sungguh berusaha mengembalikan dana BLBI yang menguap entah kemana. Pemerintah akan mendapat Rp. 35 triliun untuk kenaikan harga BBM. Bandingkan dengan dana BLBI yang telah dikorup para konglmerat hitam, yang menurut catatan Kompas (2/1/2003) sekitar Rp. 225 triliun.
Pemerintah juga perlu melakukan nasionalisasi perusahaan perminyakan di Indonesia yang dikuasai pihak asing untuk meningkatkan produksi bahan bakar dan menambah cadangan bahan bakar yang akan dikonsumsi masyarakat serta mengurangi impor minyak yang dilakukan Indonesia. Apakah bukan menjadi satu hal yang memilukan, Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak, masih mengimpor minyak dari luar negeri ?
Nasi sudah menjadi bubur, harga BBM sudah mengalami kenaikan. Sekarang yang bisa dilakukan adalah melakukan penghematan seefisien mungkin. Ingat, kita, sebagai warga negara juga memiliki kontribusi terhadap kenaikan harga BBM ini. Kontribusi tersebut adalah konsumsi bahan bakar yang kita lakukan dan umumnya konsumsi lewat kendaraan bermotor. Mulai dari sekarang, kita harus melakukan langkah penghematan dengan mengubah kebiasaan kita selama ini, yaitu setiap orang harus punya satu kendaraan. Lebih baik kita menggunakan angkutan umum, selain untuk menghemat pemakaian bahan bakar, kebiasaan ini juga bisa dijadikan salah satu cara penghematan pengeluaran kita untuk pembelian bahan bakar.
Langkah lainnya adalah tidak menggunakan kendaraan bermotor untuk berpergian ke tempat-tempat yang relatif dekat. Kita bisa berjalan kaki atau menggunakan sepeda untuk berpergian ke tempat-tempat yang relatif dekat. Selain menghemat bahan bakar, berjalan kaki atau bersepeda terbukti juga ramah lingkungan dan kedua langkah ini bukanlah suatu hal yang primitf. Hal inilah yang dilakukan negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, bahkan Hong Kong untuk melakukan penghematan konsumsi bahan bakar minyak, sehingga ditengah situasi harga minyak dunia yang terus meroket, negara-negara tersebut sepertinya tidak merasakan dampak dari kenaikan harga minyak dunia.

Referensi :
Buletin Dakwah Al Islam, edisi 405 tahun XII.
Harian Sriwijaya Post, Sabtu, 24 Mei 2008.
Harian Sumatera Ekspres, Sabtu, 24 Mei 2008.Karya Tulis Ekonomi Islam oleh Chandra Natadipurba dengan judul Peran Negara Dalam Sistem Islam untuk Membangun Kesejahteraan (disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional

15 Mei 2008

Menyoroti Minimya Sosialisasi Perbankan Syariah

Oleh : Agustianto

Data membuktikan, bahwa market share perbankan syariah saat ini masih sekitar 1, 7 persen dari total asset perbankan secara nasional. Angka ini menunjukkan betapa kecilnya kontribusi perbankan syariah terhadap perekonomian Indonesia. Bank Indonesia melalui blue print perbankan syariah telah menargetkan share bank syariah sebesar 5, 2 persen pada Desember 2008. Bertenggernya market share perbankan syariah sejak belasan tahun di atas satu koma, karena program sosialisasi yang dilakukan masih sangat minim (belum optimal) dan belum tepat. Artinya, sosialisasi perbankan syariah masih sangat kurang. Masyarakat luas di berbagai segmen masih terlalu banyak belum mengerti sistem, konsep, filosofi, produk, keuntungan, dan keunggulan bank syariah.

Minimnya gerakan sosialisasi tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Menurut laporan akhir tahun Bank Indonesia 2006, kegiatan sosialisasi oleh Bank Indonesia sepanjang tahun 2006 hanyalah 51 kali. Sebuah upaya yang sangat minim mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Idealnya dalam setahun bisa dilakukan minimal 5 juta kali sosialisasi dalam setahun, bukan 51 kali.

Bentuk sosilisasi perbankan syariah sangat beragam dan luas, seperti melalui media massa cetak atau elektronik, buletin, majalah, buku, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Dalam tulisan ini, lingkup sosialisasi yang dibahas hanyalah sosialisasi dalam bentuk edukasi masyarakat melalui dialog dan ceramah secara langsung kepada umat.

Prof.Dr.M.A.Mannan, pakar ekonomi Islam, dalam buku Ekonomi Islam, sejak tahun 1970 telah mengingatkan pentingnya upaya edukasi masyarakat tentang keunggulan sistem syariah dan keburukan dampak sistem ribawi. Dalam hal ini keseriusan Bank Indonesia perlu dipertanyakan, karena selama ini Bank Indonesia tidak memberikan perhatian yang berarti bagi upaya sosialisasi bank syariah, karena hanya sosilisasi sebanyak 51 kali dalam setahun. Betul, Bank Indonesia telah mendorong secara signifikan dari aspek regulasi seperti office channeling dan peraturan lainnya yang mendukung berkembangnya perbankan syariah. Namun dari segi edukasi yang meluas, masih jauh panggang dari api.

5 juta kali sosialisasi

Sebagaimana disebut di atas, bahwa idealnya sosialisasi perbankan syariah dilakukan sebanyak 5 juta kali dalam setahun. Asumsinya, jumlah masjid di Indonesia sekitar 600.000 buah. Jika dalam setahun hanya 1 kali sosialisasi di tiap masjid, maka dibutuhkan 600.000 kali sosialisasi. Ingat di masjid-masid tidak cukup hanya sekali sosialisasi., minal 3 atau 4 kali sosialisasi, agar pemahaman jamaah benar-benar mendalam, bukan sekedar kulit. Maka jika di setiap masjid hanya dilakukan 4 kali sosialisasi, maka dibutuhkan 2,4 juta kali sosialisasi. Belum termasuk sosialisasi terhadap 600.000 ustaz/ulamanya sebagai guru ekonomi syariah yang akan menyampaikan dakwah ekonomi Islam. Untuk mentraining para ulama minimal dibutuhkan 6.000 kali sosialisasi, dengan asumsi setiap sosialiasi dihadiri 100 peserta dan setiap sosialisasi memakan waktu 3 hari.

Sosialisasi juga mutlak dilakukan berkali-kali dalam setahun kepada majlis ta’lim ibu-ibu yang tersebar di seluruh Indonesia. Ingat, hampir di setiap desa dan kelurahan terdapat majlis ta’lim ibu-ibu, jumlahnya ratusan ribu majlis ta’lim ibu-ibu. Jika sosialisasi keada majlis ta’lim ibu dilakukan hanya 4 kali, maka paling tidak dibutuhkan 3.000.000 kali sosialisasi dengan asumsi di Indonesia ada 750 ribu kelompok majlis ta’lim.

Belum lagi sosialisasi terhadap pesantren yang jumlahnya mencapai 15.000. buah yang tersebar di Indonesia. Jika dalam setahun hanya dilakukan 1 kali kegiatan sosialisasi, maka dibutuhkan 15.000 kali sosialisasi. Sosialisasi juga harus dilakukan kepada seluruh seluruh Perguruan Tinggi, tidak saja kepada fakultas ekonomi dan fakultas syariah tetapi juga ke seluruh civitas akademika, biro rektor dan sebagainya. Jumlahnya secara keseluruhan juga tidak kurang dari 15.000.-. Demikian pula kepada seluruh sekolah Madrasah Aliyah, Tsnawiyah, MAN, dan SMU. Jumlahnya lebih dari 50.000 sekolah. Demikian pula kepada aparat pemerintah di setiap kecamatan, kabupaten kota, para pegawai di dinas-dinas pemerintah, DPRD, instansi departemen di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Belum lagi kelompok KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Bahkan tidak mustahil sosialisasi kepada sekolah SD dan TK, agar bank syariah lebih dkenal sejak awal.

Berdasarkan kebutuhan akan sosialisassi tersebut, maka tidak aneh jika saat ini dibutuhkan 5 juta kali sosialisasi oleh para ahli dan atau ustaz yang terlatih. Iklan di televisi, radio memang dibutuhkan, namun sosialisasinya melahirkan market yang mengambang (floating), tidak mendalam dan siginifikan mencerdaskan umat Islam yang mendengarnya. Maka di samping iklan media massa seperti itu, sangat diperlukan pula edukasi langsung kepada masyarakat dengan metode dan materi yang tepat

Perlu menjadi catatan, bahwa Bank Indonenia tidak boleh merasa bahwa sosialisasi yang dilakukannya sudah terlalu banyak. Ini kesalahan yang sangat fatal. Sosialisasi yang dilakukan Bank Indonesia bagaikan setetes air di tengah sungai yang besar, hampir tidak berpengaruh bagi masyarakat secara signifikan, maka tidak aneh jika sejak beberapa tahun terakhir market share bank shariah masih kecil. Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang luas. Penduduknya lebih dari 200 juta. Maka edukasi bank syariah mustahil dilakukan sendirian oleh Bank Indonesia dan PKES yang dibentuknya, ditambah promosi bank-bank syariah.

Upaya-upaya promosi dan sosialisasi itu masih sangat kecil dan terbatas. Ratusan juta (sebagian besar) umat Islam Indonesia belum mengerti tentang sistem perbankan syariah. Puluhan ribu ulama yang berkhutbah di mesjid belum menyampaikan materi ekonomi syariah secara rasional, ilmiah, bernash agama dan meyakinkan umat. Hal ini karena para ulama/ ustas belum mengerti ilmu perbankan syariah. Ratusan ribu mesjid masih sepi dari topik ekonomi ekonomi syariah, karena para ustaznya tidak mengerti (bahkan tidak yakin) pada keunggulan bank syariah. Malah masih terlalu banyak ulama yang berpandangan dangkal bahkan miring tentang perbankan syariah. Seandainya para ustaz/ulama telah dicerdaskan dengan ilmu muamalah yang ilmiah (’aqliyah) dalam bidang perbankan, niscaya market share perbankan syariah tidak seperti saat ini, bahkan akan tercipta customer yang rasional, bermoral dan loyal. Jika sosialisasi sudah tepat dan benar dilakukan, hampir dipastikan tak ada jamaah masjid yang mendukung bank-bank konvesional yang memakai bunga. Jamaah masjid di Indonesia lebih dari 100 juta umat. Kini nasabah bank syariah masih 2 jutaan. Itu berarti hampir seluruh jamaah masjid yang berhubungan dengan perbankan masih menggunakan bank-bank ribawi.

Demi Allah, kita dari DPP IAEI siap dan benar-benar sanggup untuk melakukan perubahan paradigma ulama tentang perbankan serta mentraining ulama berdasarkan pendekatan integratif, ilmu-ilmu syariah dan ekonomi. Ilmu-ilmu syariah dakam hal ini bukan hanya fiqh muamalah, tetapi perangkat ilmu-ilmu alat yang sering menjadi andalan para ulama, seperti ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, qawaid fiqh, falsafah tasyri’, falsafah hukum Islam. Kesemuanya digabungkan dengan ilmu-ilmu modern, ilmu ekonomi moneter, perbankan dan ilmu ekonomi makro.

Pendekatan Komprehensif

Selama ini pendekatan sosialisasi belum utuh dan integratif, masih parsial dan tidak tuntas, sehingga virus keraguan para ulama dan masyarakat tentang perbankan syariah tidak hilang. Senjata sosialisasi yang ada selama ini belum ampuh menaklukkan ilmu para ulama, akademisi dan tokoh agama. Maka diperlukan modul dan materi yang telah terbukti ampuh berhasil merubah paradigma ulama dan myakinkan mereka secara rasional, ilmiah, tajam dan disertai pendekatan ilmu-ilmu syariah itu sendiri.

Jika personil Bank Indonesia atau pun bank syariah yang berasal dari pendidikan umum memberikan sosialisasi kepada para ulama pesantren, maka ulama bisa saja menolak berdasarkan ilmu ushul fiqh atau disiplin ilmu syariah lainnya. Para ulama menggangap bahwa para bankir dari Bank Indonesia dan bank syariah tidak ahli dalam tafsir ayat-ayat al-quran, hadits, ilmu ushul fiqh, tarikh tastri’ dan sebagainya. Karena itu, pendekatan kepada ulama haruslah melalui pendekatan ilmu-ilmu syariah sendiri ditambah ilmu-ilmu moneter dan perbankan secara utuh.

Sebaliknya jika ulama pesantren yang melakukan sosialisasi, juga tidak cukup karena pendekatannya sering dengan ideom halal haram, penggunaan dalil naqli an sich dan kering dari teori-teori rasional yang ilmiah atau tidak ada informasi ilmiah yang dilekatkan kepada syariah.

Sosialisasi kepada umat, bukan melulu pendekatan religius normatif (emosional) dan karena lebel syariah, tetapi lebih dari itu, sebuah materi yang berwawasan ilmiah, rasional dan obyektif. Jadi, gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang perbankan syariah sangat dibutuhkan, bukan hanya mengandalkan kepatuhan (loyal) pada syariah. Masyarakat yang loyal syariah terbatas paling sekitar 10-15 %. Masyarakat harus dididik, bahwa menabung di bank syariah, bukan saja karena berlabel syariah, tetapi lebih dari itu, sistem ini dipastikan akan membawa rahmat dan keadilan bagi ekonomi masyarakat, negara dan dunia, tentunya juga secara individu menguntungkan. Dalam edukasi, masyarakat betul-betul dicerdaskan, masyarakat diajak agar tidak berpikir sempit, tetapi rasional, obyektif, berpikir untuk kepentingan jangka panjang.

Karena informasi keilmuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional secara mikro dan sempit. Masyarakat (publik) masih banyak yang belum mengerti betapa sistem bunga, membawa dampak yang sangat mengerikan bagi keterpurukan ekonomi dunia dan negara-negara bangsa. Karena itu sistem syariah harus dibangun secara bertahap, terprogram dan terukur dengan target-target yang realistis.

Jika masyarakat masih menganggap sama bank syariah dengan bank konvensional, itu berarti, masyarakat belum faham tentang ilmu moneter syariah, dan ekonomi makro syariah tentang interest, dampak bunga terhadap inflasi, produktitas, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank syari’ah.

Menggunakan pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang) hanya menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Maka perlu menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual.

Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan moral adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, bahkan ekonomi dunia. Maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba.

Pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi syariah. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar sharenya terus meningkat. Semakin gencar sosialisasi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank syariah.

Jika Bank Indonesia dan bank-bank syariah bekerjasama dengan IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) dan para akademisi serta ulama secara serius dalam mengedukasi masyarakat, maka akan terjadi kemajuan yang luar biasa, tidak saja loncatan hebat dalam market share bank syariah, tetapi juga terbangun kcerdasan umat dalam memilih lembaga perbankan secara ilmiah dan istiqomah.

Penutup

Jika gerakan edukasi dan sosialisasi dilakukan secara optimal dan tepat, maka market share bank syariah 5,2 persen, bisa dicapai dengan cepat dengan basis nasabah yang istiqamah, bermoral dan rasional, tidak mudah berpindah-pindah ke bank konvensional karena kenaikan suku bunga perbankan konvensional. Upaya Bank Indonesia mendesak bank-bank konvensional yang membuka office channeling agar menempelkan logo (spanduk) adanya layanan syariah di kantor bank konvensional, sangat bagus, namun masyarakat harus dicerdaskan mengapa harus memilih bank syariah. Kita tidak ingin terjadinya pemilihan ke bank syariah karena ikut-ikutan, tanpa dasar ilmu pengetahuan, atau karena emosional saja. Nasabah seperti ini mudah kecewa dan menyebarkan kekecewaaannya kepada orang lain, sehingga menimbulkan citra buruk bagi bank-bank syariah. Padahal kekecewaaanya tersebut seringkali karena salah faham atau kurang mengerti tentang perbankan syariah. Insya Allah kita sangat siap membantu pencerdasan masyarakat tentang perbankan syariah tersebut, dan di beberapa daerah telah telah dibuktikan secara faktual berhasil.

(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Islam UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, Pascasarjana Bisnis dan Keuangan Islam Universitas Paramadina dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Konsentrasi Perbankan Syariah).

Sumber : agustianto.wordpress.com