Berbicara soal negara, tentu tidak bisa dilepaskan dari cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya yaitu ilmu politik. Melalui ilmu politik ini individu-individu yang terlibat dalam organisasi yang disebut sebagai negara dapat memainkan perannya untuk mengatur sebuah negara agar dapat mencapai tujuannya yang telah dicita-citakan melalui semua kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi.
Kebijakan ekonomi suatu negara tidak bisa lepas dari keterlibatan pemerintah karena pemerintah memegang kendali atas segala sesuatu, menyangkut semua kebijakan yang bermuara kepada keberlangsungan negara itu sendiri. Setiap pemerintahan yang sedang memimpin suatu negara tentu saja memiliki kebijakan ekonomi andalan untuk menjamin perekonomian negara yang baik dan stabil demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan, karena sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi agar tercapainya kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi rakyatnya.
Kebijakan ekonomi suatu negara juga tidak bisa dilepaskan dari paham atau sistem ekonomi yang dipegang oleh pemerintahan suatu negara, seperti sistem ekonomi Kapitalisme, Sosialisme, Campuran, maupun sistem ekonomi Islam. Tentu saja pemerintah, sebagai pengendali perekonomian suatu negara, menganut salah satu sistem ekonomi sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Apapun sistem ekonomi yang dipegang oleh suatu pemerintahan, sistem ekonomi itulah yang diyakini sebagai sistem ekonomi terbaik bagi perekonomian negara yang dipimpin oleh suatu pemerintahan tersebut walaupun nantinya dalam sistem ekonomi yang dipegang memiliki berbagai kelemahan.
Dari berbagai sistem ekonomi yang ada, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sistem ekonomi Islam dianggap sebagai smart solution dari berbagai sistem ekonomi yang ada karena secara etimologi maupun secara empiris, terbukti sistem ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi yang mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang nyata dalam penerapannya pada saat zaman Rasullah Muhammad SAW dan pada masa Khalifa Islamiyah karena sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasarkan pada nilai keadilan dan kejujuran yang merupakan refleksi dari hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT.
Sistem ekonomi Indonesia berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945-sebagai landasan idil-berorientasi pada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etika dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (tidak mengenal pada pemerasan dan eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya persamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama-bukan kemakmuran bagi seseorang).[1]
Secara garis besar, sistem ekonomi Indonesia berlandasakan pada Pancasila dan UUD 1945 mengandung nilai yang sama dengan nilai-nilai yang terdapat pada sistem ekonomi Islam yang landaskan pada Al Quran dan Hadits Rasullah Muhammad SAW. Persamaan nilai tersebut adalah usaha untuk mencapai nilai keadilan dalam bidang ekonomi untuk setiap individu baik dengan menggunakan sistem ekonomi Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 maupun dengan menggunakan sistem ekonomi Islam.
Tetapi pada kenyataannya, sistem ekonomi Indonesia memiliki banyak wajah. Keberagaman wajah inilah yang membuat sistem ekonomi Indonesia dalam praktiknya seperti tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasannya. Hal ini dapat dibuktikan, meskipun sistem ekonomi Indonesia memiliki nilai keadilan, tetapi masih saja terjadi ketidakadilan ekonomi di tengah masyarakat, seperti semakin tingginya kesenjangan sosial karena kemiskinan yang belum dapat ditangani dengan baik dan juga masih adanya kebijakan ekonomi yang kurang berpihak kepada rakyat.
Hal ini yang menjadi permasalahan dalam ekonomi Indonesia karena pada dasarnya sistem ekonomi Indonesia ingin memberikan keadilan dalam bidang ekonomi kepada setiap rakyat Indonesia, tetapi kenyataannya tidak demikian, masih jauh panggang dari api. Dan Islam, melalui sistem ekonomi berusaha memberikan smart solution atas permasalahan yang terjadi.
[1] Sri Edi Swasono, “Sistem Ekonomi
Sebuah Saran untuk Sistem Ekonomi Indonesia
Sistem ekonomi
Sistem ekonomi
Sistem ekonomi
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan Islam tercantum di dalam Al Quran yang semestinya menjadi pedoman kehidupan manusia karena bersumber langsung dari Allah SWT sebagai pemilik kehidupan. Al Quran menjelaskan kesempurnaan Islam[1] yaitu, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridai Islam itu jadi agama bagimu”. Islam mengatur semua bidang kehidupan manusia, termasuk bidang ekonomi karena Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat untuk semesta alam) perlu mengatur kehidupan manusia agar tercapainya keselamatan dunia dan akhirat.
Islam memberikan solusi atas permasalahan ekonomi yang dialami oleh setiap negara melalui Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang bersumber pada Al Quran dan hadits Rasullah SAW dan mengedepankan nilai-nilai kejujuran serta keadilan dalam berekonomi. Ekonomi Islam bukan sistem ekonomi karena fenomena trend, yang muncul secara reaktif dan karena emosi keagamaan semata tetapi merupakan sebuah sistem ekonomi yang sudah muncul dan berkembang serta menempuh perjalanan panjang sejak 14 abad yang lalu ketika zaman Rasullah Muhammad SAW.[2]
Sistem ekonomi Indonesia harus mengubah orientasinya ke sistem ekonomi Islam karena sistem ekonomi Islam secara empiris telah terbukti dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara, seperti pada zaman Umar Bin Khattab, Gubernur Yaman Muadz Bin Jabal harus mengirim zakat ke Madinah karena pada waktu itu tidak ada lagi orang miskin di Yaman. (Ahmed, 2004)
Terlebih, terdapat persamaan dalam sistem ekonomi
[1] Lihat Al Quran, Surrat Al Maidah ayat 3.
[2] Tim Penulis MSI UII, 2008, Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah,
[3] Lihat UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, 2, 3, dan 4.
[4] Sidqi Muhammad Jamil,1994, Sunan Abi Dawud lil Hafiz Abi Dawud Sulaiman Ibn a- Ash’ath al-Sajastanî, Beirut: Dâr al-Fikr, hal. 258
Tidak ada komentar:
Posting Komentar